Pangkal Pertumbuhan Ilmu Fikih: Sudah Berkembang Sejak Zaman Nabi Muhammad SAW
Dari suatu segi, ilmu fikih , seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi Muhammad SAW sendiri.
Cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam buku berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" (Paramadina, 1992) mengatakan jika fikih dibatasi hanya kepada pengertiannya sebagai " hukum " seperti yang sekarang umum dipahami orang, maka akar "hukum" yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah).
Hal ini, khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madinah , yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.
Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam sebuah firman, QS al-Nisa'/4 :65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya."
Firman ini dan lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus dipandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad SAW membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembabaruan dan perbaikan (ishlah) kehidupan masyarakat.
Ini bisa dipahami dari firman Allah, QS Hud/11 :88, yang menuturkan Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi) sedapat-dapatku."
Berada dalam inti reformasi itu ialah aspirasi kerohanian (sebagai pengimbang aspirasi keduniawian semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) dan yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang, di semua tempat dan waktu).
"Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata," kata Cak Nur.
Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang.
Inilah kurang lebih yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadis yang amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agamanya.
Hadis yang terkenal mengatakan, "Barang siapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama."
Demikian pula sebuah firman Ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadis itu, yang menegaskan hendaknya dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh (usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya. Diharapkan agar para "spesialis" ini dapat menjalankan peran sebagai sumber kekuatan moral (moral force) masyarakat.
Dalam QS al-Taubah/9 :122, "Maka hendaknyalah pada setiap golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar mereka semuanya waspada."
Menurut Cak Nur, waspada dalam hal ini, seperti takwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.
Maka suatu masyarakat tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society), namun dasar strukturnya itu ialah hakikat suatu masyarakat akhlak (ethical society).
Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya, mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad SAW dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanifiyyat al-samhah).
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment