Pengalaman Sati Alimin Hadapi Penginjil di Rumah

 Kisah penginjil an yang agresif masuk ke rumah-rumah Muslim di era tahun 70-an mendorong Sati Alimin, Murid A.Hassan “turun gunung"
HDP Sati Alimin

PADA suatu pagi yang tenang di bulan Juni 1973, sebuah kejadian tak terduga menimpa H.D.P. Sati Alimin, seorang tokoh Islam (murid Ulama Persis A. Hassan) yang dikenal teguh memegang prinsip-prinsip agama. Kejadian ini terjadi di rumah anaknya di daerah Kebon Nanas, Jakarta, yang menjadi saksi bagaimana seorang penginjil dengan berani mendatangi rumahnya.

Penginjil ini tidak hanya memasuki kawasan Muslim, tetapi bahkan masuk ke dalam rumah seorang tokoh agama untuk menyebarkan ajarannya. Nama-nama besar seperti Prof. H.M. Rasjidi, KH. Saifuddin Zuhri, pernah didatangi penginjil.

Peristiwa ini tidak hanya menjadi pengalaman pribadi bagi Sati Alimin, tetapi juga mencerminkan fenomena yang mulai marak pada masa itu—penginjilan yang agresif dan langsung masuk ke rumah-rumah umat Islam, bahkan tokoh-tokoh agamanya. Fenomena ini menggugah pertanyaan besar mengenai bagaimana umat Islam harus bersikap ketika dihadapkan dengan situasi serupa.

Kedatangan Penginjil yang Tak Terduga

Pada hari Minggu itu, sekitar pukul 09.00 pagi, Sati Alimin tengah menikmati waktu santainya di ruang depan rumah anaknya. Tanpa diduga, seorang tamu yang tidak dikenal datang. Pria itu, meski sudah mulai beruban, masih terlihat lebih muda dari Sati Alimin.

Setelah basa-basi singkat, penginjil itu memulai percakapan dengan topik yang tampaknya sudah ia siapkan dengan matang: kemerosotan moral di kalangan masyarakat, terutama di antara pemuda-pemudi.

Dengan membawa tas kulit yang tampak berat, penginjil itu memulai misinya dengan membacakan beberapa ayat dari Injil. Dari cara bicaranya, jelas bahwa ia telah dilatih untuk menyampaikan pesan ini, mungkin kepada siapa saja yang ia temui.

Namun, kali ini ia berhadapan dengan seseorang yang tidak hanya paham agama, tetapi juga seorang intelektual yang kritis terhadap apa yang didengarnya.

Ujian Keimanan dan Kecerdasan

Saat penginjil itu mulai membaca ayat-ayat Injil, Sati Alimin sudah menduga maksud kedatangannya. Dalam pikirannya, terlintas berbagai opsi—apakah ia harus menolak penginjil ini secara langsung atau meladeninya untuk menguji pengetahuannya sendiri tentang agama-agama dunia, topik yang sudah lama ia pelajari.

Sati Alimin memilih opsi kedua. Dengan tenang, ia meminta penginjil itu mengulangi pembacaan ayat-ayatnya, kali ini lebih perlahan. Setelah pengulangan itu, ia dengan bijak mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar namun mematikan: “Apakah saudara percaya bahwa Yesus Kristus mengucapkan demikian?” Ketika penginjil itu menjawab dengan yakin bahwa itu adalah ucapan Yesus, Sati Alimin melanjutkan dengan logika yang tak terbantahkan—Yesus tidak mungkin berbicara dalam bahasa Indonesia, atau bahkan Belanda atau Inggris, bahasa-bahasa yang ditawarkan oleh penginjil itu.

Penginjil itu terlihat semakin bingung ketika Sati Alimin meminta Injil dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani dengan dialek Aramia, bahasa yang digunakan oleh Nabi Isa. Sati Alimin menegaskan bahwa ia hanya akan percaya jika Injil disampaikan dalam bahasa aslinya, sebagaimana ia membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab, bahasa asli Nabi Muhammad. Dialog ini bukan hanya tentang agama, tetapi tentang keaslian dan integritas penyampaian wahyu. (Sumber: HDP. Sati Alimin, Alangkah Beraninya Kawan Kita, Majalah Harmonis No. 173, IX/1979: 22, 23, 25).

Tantangan Penginjilan di Rumah-Rumah Muslim

Kisah ini bukan hanya tentang Sati Alimin dan penginjil itu, tetapi tentang tantangan yang dihadapi umat Islam pada masa itu. Penginjilan yang semakin agresif dan langsung masuk ke rumah-rumah Muslim, bahkan rumah tokoh agama, menunjukkan adanya upaya yang terencana untuk menyebarkan ajaran lain di tengah masyarakat Muslim.

Sati Alimin tidak hanya sekadar meladeni tamunya, tetapi ia juga memberikan pelajaran penting tentang bagaimana menghadapi situasi seperti ini dengan kepala dingin, pengetahuan yang mendalam, dan kecerdasan yang tajam.

Ia tidak membiarkan dirinya terprovokasi atau marah, tetapi justru membalik situasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang membuat penginjil itu tidak bisa berkutik.

Peristiwa ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi umat Islam. Pertama, pentingnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama sendiri dan agama-agama lain untuk bisa berdialog secara efektif.

Kedua, pentingnya bersikap tenang dan tidak mudah terprovokasi dalam menghadapi situasi yang menantang keimanan. Ketiga, pentingnya menjaga keaslian ajaran agama dengan tidak menerima begitu saja ajaran yang disampaikan dalam bahasa yang sudah diterjemahkan atau disesuaikan.

Keempat, tidak menyebaran agama kepada orang yang sudah beragama. Kelima, umat Islam perlu waspada penyebaran penginjilan kepada umat Islam yang dilakukan secara terselubung maupun terbuka.

Sati Alimin mengakhiri pertemuannya dengan penginjil itu dengan menantangnya untuk membawa Injil dalam bahasa Aramia jika ingin melanjutkan dialog mereka.

Tantangan ini tidak pernah terpenuhi, dan lima setengah tahun kemudian, penginjil itu masih belum kembali. Kisah ini, yang dicatat oleh Sati Alimin dalam majalah Harmonis, menjadi pengingat bagi umat Islam untuk selalu waspada dan siap menghadapi tantangan keimanan, di mana pun dan kapan pun.*/ Mahmud Budi Setiawan

No comments: