Sejarah Perayaan Maulid Nabi, Benarkah Digagas Saladin?
Peringatan Maulid Nabi untuk pertama kalinya digelar pada 580 H atau 1184 M. Saat itu, Shalahuddin mengimbau para penyair negerinya untuk menggubah syair puji-pujian bagi Nabi SAW seindah mungkin. Bahkan, raja Muslim ini mengadakan sayembara untuk itu.
Namun, ada pula pendapat yang menyebut, Shalahuddin "hanya" meneruskan tradisi yang sudah ada. AM Waskito dalam Pro dan Kontra Maulid Nabi SAW (2014) menukil pendapat sejarawan Prof Ali Muhammad ash-Shallabi.
Sultan Shalahuddin pada mulanya hendak meminimalkan sisa-sisa pengaruh Dinasti Fathimiyah yang berhaluan Syiah Ismailiyah-Rafidhah, yakni penguasa Mesir sebelumnya.
Raja yang disebut Saladin oleh orang-orang Eropa itu tidak mau memberantas pengaruh Syiah itu hingga ke "akar", sebagaimana terjadi di Tunisia pada masanya. Karena itu, ia memilih cara-cara kultural.
Sebagai contoh, Universitas al-Azhar yang dibangun Fathimiyah di Kairo tidak dirubuhkannya. Namun, fungsinya diubah yakni tidak lagi sebagai tempat kaderisasi Syiah, melainkan pusat keilmuan Islam Sunni.
Hal yang sama dilakukannya pula terhadap perayaan Maulid Nabi SAW, yang sebelumnya rutin diselenggarakan Fathimiyah.
Sultan Shalahuddin tetap mempertahankan peringatan Maulid Nabi SAW. Hal itu dengan catatan, dirinya membersihkan perayaan itu dari "ritual-ritual" yang tidak sesuai dengan akidah ahlus sunnah wal jama'ah.
Dipertahankannya Maulid Nabi SAW pun terkait dengan konteks situasi masa itu. Umumnya umat Islam sedang dilanda kelemahan dan kelelahan akibat perang yang berlangsung terus menerus melawan Pasukan Salib.
Dengan adanya perayaan tersebut, Saladin menggalang perhatian Muslimin untuk mengingat kembali jejak-jejak sejarah kehidupan Rasulullah SAW. Alhasil, mereka dapat semakin menguatkan rasa cinta kepada sang Khatamul anbiya, khususnya ketika sedang menghadapi musuh Islam.
Demikianlah asal-usul peringatan Maulid Nabi dalam sejarah sejak ribuan tahun lalu. Perayaan tersebut semula diinisiasi kalangan Syiah, yakni Dinasti Fathimiyah. Namun, tradisi itu kemudian diadaptasi ke dalam kultur aswaja, yakni melalui kebijakan Sultan Shalahuddin Rol
No comments:
Post a Comment