Teladan Khadijah Sang Istri Nabi

Khadijah selalu mendukung dan setia di sisi suaminya, Nabi Muhammad SAW. Red: Hasanul Rizqa Pemakaman Mala di Kota Mekkah. Beberapa keluarga Rasulullah dikebumikan di Mala. Di antaranya, Sayyidah Khadijah.
Foto: Karta/Republika
Pemakaman Mala di Kota Mekkah. Beberapa keluarga Rasulullah dikebumikan di Mala. Di antaranya, Sayyidah Khadijah.
Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Muhammad SAW berlari menuju ke rumah. Ia diliputi perasaan takut. Sesampainya di rumah, sosok berjulukan al-Amin itu mengetuk pintu dan dengan terbata-bata berkata kepada istrinya, Khadijah binti Khuwailid: “Selimuti aku! Selimuti aku!”

Tubuh beliau tampak menggigil. Kemudian, Khadijah menyelimuti sang suami dan membiarkannya. Ia tidak bertanya apa pun hingga sang suami dapat tertidur.

Begitu terbangun keesokan harinya, rasa takut dalam diri Muhammad SAW mulai menghilang. Kemudian, beliau menceritakan semua yang telah terjadi kepada sang istri tercinta.

“Aku mengkhawatirkan diriku,” kata beliau.

“Tidak perlu engkau khawatir. Allah tidak akan pernah menghinakanmu," kata Khadijah menenangkan suaminya, "sungguh, engkau orang yang menjaga tali silaturahim. Engkau selalu mengemban amanah, menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu.”

Ketika kondisi Rasulullah SAW sudah benar-benar tenang, Khadijah mengajak suaminya itu menemui Waraqah bin Naufal. Secara nasab, lelaki yang sudah amat sepuh itu merupakan sepupu Khadijah.

Pria ini memeluk agama Nasrani. Di antara keahliannya juga adalah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab.

“Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah kepada Muhammad SAW. Beliau pun menceritakan sebagaimana adanya peristiwa yang telah dialami di Gua Hira.

Setelah menyimak dengan saksama penuturan beliau, Waraqah berkata: “Yang datang kepadamu adalah malaikat yang dahulu Allah turunkan kepada Nabi Musa. Andaikan aku diberi umur panjang, aku berharap dapat menolongmu ketika kaummu mengusirmu.”

“Mengapa mereka sampai mengusirku?” tanya Muhammad SAW.

“Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu, sebagaimana yang kau emban ini, kecuali akan dimusuhi kaumnya sendiri. Jika aku masih hidup sampai pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh,” jawab Waraqah menjelaskan.

Di kemudian hari, ahli tafsir Injil ini terlebih dahulu meninggal sebelum Allah SWT menyuruh Nabi-Nya itu berdakwah secara terang-terangan.

Beberapa waktu kemudian, turun wahyu Allah yang memerintahkan agar dakwah dilakukan secara terang-terangan. Betapa berat tekanan kaum musyrik terhadap Nabi SAW. Namun, Rasulullah SAW pantang menyerah.

Terlebih lagi, di sisinya selalu ada Khadijah. Sang istri selalu setia dan memperkuat jiwanya. Ia tidak pernah mendebat suaminya, baik sebelum maupun setelah turunnya risalah kenabian.

Berkat cinta Khadijah, Rasulullah SAW merasa lapang dada, walau amat keras kebencian dan tekanan yang dialamatkan orang-orang Quraisy kepadanya.

“Tiap yang bernyawa akan merasakan maut.” Khadijah binti Khuwailid meninggal dunia pada tahun ketiga sebelum Hijriyah. Sang ummul mukminin wafat di Makkah dalam usia 65 tahun. Kala istrinya terkulai lemas, Rasulullah SAW menghampiri sembari berkata, “Engkau pasti tidak menyukai apa yang aku lihat saat ini.”

Sedangkan, Allah telah menjadikan dalam sesuatu yang tidak engkau kehendaki itu sebagai kebaikan. Sebagai pasangan suami istri, perpisahan memang tak diinginkan. Namun, hikmah Allah menanti bagi mereka yang bersabar.

Saat pemakaman jenazah Khadijah, Rasulullah SAW turun ke liang lahat. Dengan tangannya sendiri, beliau memasukkan jenazah istrinya. Betapa berat perasaan Nabi SAW melihat paras wajah wanita yang dicintainya itu untuk terakhir kalinya. Sejarah mencatat, Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain ketika bersama Khadijah.

Wafatnya Khadijah menjadikan tahun itu sebagai Tahun Kesedihan. Rasulullah SAW melalui masa itu dengan penuh ketabahan dan kesabaran demi mencapai ridha Allah SWT.Rol

No comments: