Wasiat Kebahagiaan Sang Sahabat Nabi
Sebelum berislam, Amr bin Ash sempat memusuhi Rasulullah SAW. Red: Hasanul Rizqa
Dalam kondisi demikian, seorang pemuka Quraisy, Amr bin 'Ash, ikut galau. Ia yakin betul, cepat atau lambat, Muhammad SAW akan mengumpulkan kekuatan yang mustahil dilawan. Kemudian, pemimpin kaum Muslimin itu akan menguasai Makkah seluruhnya.
Dengan penuh kesadaran, Amr bin 'Ash memutuskan untuk pergi ke Madinah. Tujuannya, menyatakan sumpah setia kepada Muhammad SAW. Harapannya, pertobatannya ini diterima.
Peristiwa ini terjadi selang enam bulan sebelum umat Islam membebaskan Makkah tanpa pertumpahan darah (Fath Makkah). Di tengah jalan, Amr bin 'Ash berpapasan dengan dua orang tokoh Makkah lainnya, yakni Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah.
Amr menyadari, keduanya memiliki niatan yang sama dengannya: menghadap Muhammad SAW. Sesampainya di Madinah, ketiga orang ini diterima dengan baik oleh Rasulullah SAW.
"Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita," ujar Nabi SAW kepada para sahabat, mengomentari kedatangan tiga tokoh Quraisy ini.
Amr bin 'Ash hendak melakukan sumpah setia kepada Rasul SAW, setelah Khalid bin Walid melakukannya. Namun, sebelum itu, ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, saya akan berbaiat kepada Tuan, asalkan Allah mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu."
"Wahai Amr, berbaitlah," jawab Nabi SAW, "karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya."
Mendengar itu, betapa lega hati Amr bin 'Ash. Sejak saat itu, dirinya menjadi seorang Mukmin yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang menyurutkan langkahnya demi ikut menegakkan panji-panji agama tauhid.
Seperti diceritakan dalam kitab karya Imam Muslim, Al-Iman, Amr bin 'Ash hidup hingga usianya mencapai hampir 90 tahun. Di menit-menit akhir hayatnya, sang sahabat Nabi sempat memanggil putranya, Abdullah. Ia hendak menyampaikan nasihat.
Kala itu, Abdullah mendapati sang ayah sedang menangis. "Wahai, ayahku," katanya membuka percakapan, "bukankah Rasulullah telah menyampaikan kabar gembira kepada engkau?"
Amr bin 'Ash menjawabnya dengan terbata-bata, "Duhai anakku! Aku telah mengalami tiga tahap dalam hidup. Awalnya, aku termasuk para pembenci Rasulullah. Saat itu, betapa senangnyaaku jika sampai bisa menangkap dan membunuh beliau dengan tanganku sendiri. Dan seandainya Allah mewafatkanku ketika itu, pasti aku termasuk penghuni neraka."
Amr bin 'Ash melanjutkan nasihatnya: "Namun, Allah kemudian menghadirkan rasa cinta di dalam hatiku kepada Islam. Maka aku mendatangi Nabi SAW dan berkata kepada beliau, 'Aku akan membaiat engkau.'
Rasulullah kemudian mengulurkan tangan kanan beliau. Namun, kemudian aku menahan sebentar tanganku.
'Ada apa, wahai Amr?' tanya beliau.
Aku menjawabnya, 'Aku ingin engkau memberikan satu syarat kepadaku.'
'Apa syarat yang engkau inginkan?' tanya Rasulullah kemudian.
'Aku ingin agar dosa-dosaku di masa lampau diampuni Allah,' jawab ku.
Maka Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau tidak mengetahui, Islam menghapus dosa-dosa yang telah lalu (sebelum memeluk Islam)? Demikian pula hijrah, menghapus kesalahan-kesalahan yang sudah lalu? Demikian pula ibadah haji, menyucikan dosa yang lalu?'"
Amr bin 'Ash melanjutkan penuturannya: "Sungguh, tidak ada satu orang pun yang lebih kucintai daripada Rasulullah. Kedua mataku selalu membayangkan diri beliau.
Aku selalu segan bila berhadapan mata dengan beliau karena aku sangat menghormati beliau. Bila kiranya aku diminta menjelaskan bagaimana fisik beliau, mungkin aku tidak akan mampu.
Jika aku wafat, aku berharap digolongkan sebagai penduduk surga."
"Saat kau menguburkanku," katanya kepada sang putra, "lalu melempari jenazahku dengan tanah makam, berdirilah sebentar di dekat makamku. Maka, aku menunggu apa yang aku akan jawab dari pertanyaan utusan (malaikat) Tuhanku."Rol
No comments:
Post a Comment