Kisah Junaid al Baghdadi Kecil yang Memukai Ratusan Syekh di Masjidil Haram
Ketika itu di Masjidil Haram telah berkumpul empat ratus syekh ahli sufi yang sedang membahas makna sikap syukur. Setiap mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
"Kemukakanlah pendapatmu," Sirry as Saqathi mendorong Al Junaid.
"Syukur berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran," sahut Al Junaid.
Mendengar jawaban tersebut, serentak keempat ratus syekh dan para ahli sufi tersebut berseru, "Tepat sekali wahai pelipur hati kaum Mislmin sejati!"
Semuanya sependapat, bahwa definisi syukur yang dikemukakan Al Junaid inilah yang paling tepat. Sirry as Saqathi berkata kepada Al Junaid, "Wahai Nak, tidak lama lagi akan terbuktilah, bahwa karunia istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu!"
Al Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
"Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?" Sirry as Saqathi bertanya kepadanya.
"Dengan duduk mendengarkanmu," jawab Al Junaid jujur merendah.
Jadilah Al Junaid sebagai pemimpin mazhab yang cukup besar dan berpengaruh. Walaupun beliau sangat terkenal dan juga kaya raya, dan berbondong-bondong didatangi orang, hidupnya sangat sederhana dan zuhud jauh dari kemewahan.
Sebagian besar kekayaannya dihabiskan untuk para sufi miskin. Atau, untuk menjamu teman-temannya.
Salah satu ajarannya yang terkenal adalah tentang kelezatan. Baginya, penderitaan, kesusahan, dan rintihan batin dalam perjalanan menuju zat yang dicintai Allah itu adalah kelezatan yang tiada tara.
No comments:
Post a Comment