Kisah Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur Membasmi Pemberontakan Kaum Syiah
Abu Ja’far Al-Mansur menjadi khalifah Abbasiyah pada 754-775 Ma atau 137-159 H. Pemerintahan Daulah Abbasiyah berkembang dimulai dari dirinya.
Dalam Teks Books, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1 (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1981-1982), disebutkan Al-Mansur diangkat menjadi khalifah setelah saudaranya Abu Abbas al-Safah meninggal dunia pada tahun 136 / 754 M.
Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah perkasa, keras hati, kuat keimanan, bijaksana, cerdas, pemberani, teliti, disiplin, kuat beribadah dan sederhana.
Pada masa kekhalifahan Abu Ja’far Al-Mansur tak sepi dari pemberontakan. Salah satunya adalah pemberontakan kaum Syiah .
Syamruddin Nasution dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" mengatakan ketika propaganda untuk menjatuhkan Daulah Umayyah dilancarkan, golongan Syiah ikut serta di dalamnya.
Karena perjuangan mereka untuk membela keluarga Nabi, karena itu dianggap cukup tepat memperoleh peluang untuk mendapat kekuasaan.
Berdasarkan hal itu, mereka beranggapan lebih pantas menjabat khalifah itu dibandingkan dengan Bani Abbas. Itulah sebabnya golongan Syiah di bawah pimpinan Muhammad bin Abdullah mengadakan pemberontakan pada masa al-Mansur.
Khalifah al-Mansur berusaha menangkap Muhammad bin Abdullah karena menantang kekuasaan Daulah Abbasiyah. Akan tetapi selalu gagal.
Pada akhirnya 15 orang keluarga Syiah di Irak ditangkap dan dipenjarakan khalifah.
Kematian mereka membangkitkan kemarahan Muhammad bin Abdullah. Dia pun menggerakkan pemberotakan di tanah Hijaz bersama 30.000 pasukan di bawah pimpinan saudaranya Ibrahim bin Abdullah. Mereka menuju Basrah.
Pasukan al-Mansur segera menyusul pasukan mereka itu. Dalam pertempuran itu Ibrahim gugur dan pasukannya porak poranda. Muhammad bin Abdullah segera pula menyusul dengan pasukan yang lebih besar, akan tetapi ia pun tewas dan pasukannya hancur.
Terbunuhnya Muhammad bin Abdullah menjadikan tiga golongan yang sangat berjasa dan mempunya andil dalam gerakan mendirikan Daulah Abbasiyah, telah berakhir di tangan khalifah al-Mansur.
Sebenarnya kepergian mereka sangat menghimpit batin khalifah, akan tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali hal itu demi menyelamatkan Daulah Abbasiyah.
Syamruddin mengatakan jika dilihat dari segi politik, tindakan al-Mansur itu adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan, sebab jika mereka masih dibiarkan hidup akan terjadi kerusuhan di mana mana, dan itu akan mengancam kekuasaan Khalifah dan kelangsungan Daulah Abbasiyah.
"Jadi jika ingin menyelamatkan negara, hal itu harus dilakukan dan di sinilah ketegasan khalifah mengambil sikap," katanya.
Menurut Syamruddin, di antara faktor yang membuat al-Mansur dikatakan sebagai orang yang berperan dalam menegakkan Daulah Abbasiyah, bahkan dikatakan bahwa dialah pendiri yang sebenarnya dari Daulah Abbasiyah itu adalah kemampuannya menciptakan stabilitas pemerintahan.
Pada waktu dia diangkat menjadi khalifah, kekuasaan Daulah Abbasiyah masih goyah, karena dilanda kemelut, perebutan kekuasaan antara dia dengan pamannya Abdullah bin Ali, pada saat itu sebagian besar penduduk wilayah Palestina, Afrika Utara, Syria dan Mesir berpihak kepada Abdullah.
Sementara wilayah timur (Persia) berpihak pada Abu Muslim. Andai kata pasukan Abdullah bersekutu dengan pasukan Abu Muslim, maka Abu Ja’far ketika itu tidak ada apaapanya.
Di sinilah tampaknya letak ketokohan al-Mansur mampu meyakinkan Abu Muslim agar menyerang Abdullah.
Kemudian dia dengan mudah mematahkan perlawanan Abu Muslim dan golongan Syiah. Maka kunci terciptanya stabilitas adalah mengakhiri riwayat tiga golongan itu.
Perlawanan dari tiga golongan tersebut telah dapat ditumpas, kini situasi pemerintahan relatif aman.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment