Kisah Pencuri Yahudi Masuk Islam dan Khalifah Ali

Ali bin Abi Thalib yakin, orang Yahudi itu telah mencuri bajunya. Red: Hasanul Rizqa Ali bin Abi Thalib
Foto: dok wiki
Ali bin Abi Thalib
Pada suatu kali, menjelang azan subuh, Ali bin Abi Thalib melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara.

Tiba-tiba, Khalifah Ali melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan salah satu rumah. Keponakan Rasulullah Muhammad SAW itu pun menghampirinya.

Ia memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Yakinlah ia bahwa benda itu adalah miliknya.

Sesudah memimpin shalat subuh berjamaah, Ali kembali lagi ke tempat itu. Dia lantas mengetuk pintu. Keluarlah si pemilik rumah.

"Wahai Yahudi, bagaimana keadaanmu?" tanya Ali.

"Baik-baik saja, wahai khalifah," jawab si Yahudi ini.

Ali kemudian menunjuk pada baju perang yang sedang dijemur. "Aku melihat ada baju perang di depan rumahmu. Apakah itu kepunyaanmu?" selidik Ali.

"Baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja baju perang itu punyaku," terang pria Yahudi itu.

"Tapi aku yakin baju ini milikku," tegas Ali lagi.

Orang Yahudi itu toh tetap bertahan pada argumentasinya. Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan saat itu juga.

Sampailah keduanya di gedung pengadilan. Ali masuk, diikuti si Yahudi. Dengan mata kepalanya sendiri, orang kafir dzimmi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap sang khalifah.

Begitu Ali mengucapkan salam, seisi ruangan menjawabnya. Sesudah itu, tidak terjadi apa-apa.

"Wahai khalifah, silakan mengantre," kata hakim.

Ali pun menuju ke barisan antrean dari yang paling belakang. Beberapa lama kemudian, dia pun bisa mendaftarkan perkaranya.

Tibalah giliran kasus Ali dan si Yahudi tadi digelar. Di hadapan mereka, sang hakim bertanya, apa pokok persoalannya.

"Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku," terang Ali.

"Bagaimana menurut engkau?" tanya sang hakim kepada si Yahudi.

"Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Aku mengatakan, baju perang itu adalah milikku," tegasnya.

"Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan, itulah baju perang engkau?" tanya Hakim kepada Khalifah Ali.

"Yang tahu bahwa baju itu kepunyaanku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku," ujar Ali.

"Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut hukum agama ini, kesaksian anak atas orang tuanya--atau orang tua atas anaknya--tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya. Kini yang tersisa dari para saksi engkau adalah satu orang perempuan, yakni istri engkau. Sementara, hukum agama ini mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh (diganti menjadi) satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Adakah mereka itu?" tanya Hakim.

Ali sejenak berpikir dan kemudian berkata, "Tidak ada."

Dengan demikian, sang hakim mengetok palu. Dia memutuskan, baju perang itu adalah milik si Yahudi. Sidang pun selesai.

Kebetulan, sidang tersebut merupakan yang terakhir di jadwal hari itu. Maka sang hakim pun turun dari kursi kebesarannya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali.

Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang, sementara si Yahudi tadi berdiri kebingungan. Dia bingung, sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami sistem dan akhlak kepemimpinan yang adil seperti itu.

Yahudi tadi pun berlari menyusul Khalifah Ali dan sang hakim. "Wahai, Tuan-tuan, tunggu sebentar!"Rol

No comments: