Timbuktu yang Legendaris

Timbuktu berjaya saat dipimpin manusia terkaya sedunia, Mansa Musa. Red: Hasanul Rizqa Lukisan tahun 1858 yang menggambarkan Timbuktu.
Foto:
Selama 25 tahun berkuasa, Mansa Musa sukses membawa Imperium Mali ke masa-masa yang penuh kemakmuran dan kedamaian. Raja yang lahir pada 1280 itu tidak hanya berhasil mewujudkan stabilitas nasional. Nama Mali pun mulai dikenal luas dunia internasional sejak kepemimpinannya. Peta dunia yang dibuat pada abad pertengahan, Catalan Atlas, menggelari kerajaan di Afrika Barat tersebut sebagai “tanah milik seorang raja yang kaya akan emas.”

Di sepanjang sejarah Mali, tak ada raja pengganti yang mampu menandingi kualitas Mansa Musa. Ia membangun berbagai kota mercusuar peradaban Islam di penjuru negeri. Yang terbesar di antaranya adalah Timbuktu.

Sesungguhnya, Timbuktu sudah berdiri sejak abad ke-11. Kota tersebut berfungsi sebagai salah satu tempat transit kafilah-kafilah di jalur Trans-Sahara bagian barat. Pendirinya adalah suku bangsa Tuareg. Menurut hikayat lokal, sebelum mendirikan kota ini orang-orang Tuareg hidup secara nomaden. Mereka kerap menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan untuk menggembala ternak tiap musim hujan. Pada musim kering, daerah sekitar aliran Sungai Niger menjadi tujuannya untuk mencari rumput.

Ketika tinggal di sekitar sungai, mayoritas orang Tuareg terserang sakit akibat gigitan nyamuk. Dalam kondisi demikian, mereka memutuskan untuk mencari hunian di tak jauh dari Sungai Niger. Ketika musim penghujan datang, tradisi pengembaraan pun akan dimulai. Rumah-rumah semipermanen yang mereka dirikan lantas dititipkan kepada seorang wanita tua, Tinabutut, yang kebetulan tinggal dekat sungai. Lokasi itu akhirnya dinamakan sesuai nama perempuan tersebut. Seiring waktu, pengucapannya berubah dari Tinabutut menjadi Timbuktu.

Sejak 1325, Timbuktu mulai dikuasai Mansa Musa. Ia menugaskan seorang arsitek, Abu Ishaq Ibrahim al-Sahili, untuk membangun masjid jami di sana. Juru rancang itu digajinya dengan 200 kilogram emas. Dua tahun kemudian, tempat ibadah itu rampung dikerjakan. Hingga kini, bangunan bernama Masjid Djingareyber itu masih berdiri tegak.

Musa juga mendirikan Madrasah Sankore di Timbuktu. Meskipun bernama “madrasah”, sistem pendidikan di sana tak ubahnya universitas modern. Pada masanya, Sankore memiliki koleksi buku terbanyak kedua setelah Perpustakaan Iskandariah di Mesir. Antara 400 ribu hingga 700 ribu naskah dan kitab terdapat di kampus tersebut.

      Saat Musa masih hidup, Timbuktu merupakan salah satu pusat aktivitas intelektual di Afrika Barat. Banyak sarjana yang mengadakan rihlah keilmuan ke sana. Perpustakaan setempat menyimpan begitu banyak manuskrip berharga. Tak hanya mengenai ilmu-ilmu keislaman, naskah-naskah tersebut juga mengulas tentang beragam ilmu pengetahuan umum. Mulai dari arsitektur, astronomi, ekonomi, geografi, matematika, puisi, musik, obat-obatan, tata bahasa, hingga hak-hak perempuan. Sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab, Songhai, Tamasheq, dan Bambara. Naskah yang tertua diketahui berasal dari tarikh 1204.

Selama bertahun-tahun, naskah-naskah tersebut dijaga oleh beberapa keluarga di Timbuktu. Manuskrip-manuskrip itupun diwariskan secara turun-temurun. Namun, menjaga manuskrip-manuskrip berharga itu bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi ketika Mali berada di bawah kekuasaan kolonial Prancis dan pendidikan bahasa Arab di negara itu meredup, penghargaan terhadap manuskrip abad pertengahan itu pun menurun. Bahkan, ada beberapa orang yang rela menjual naskah-naskah tersebut.Rol

No comments: