KH Mas Mansur, Tokoh Islam Modernis dari Surabaya

 

KH Mas Mansur adalah ketua umum Muhammadiyah 1937-1942. Red: Hasanul Rizqa (ilustrasi) gambar KH Mas Mansur
Foto: tangkapan layar google image
(ilustrasi) gambar KH Mas Mansur

donesia. Di antara mereka adalah KH Mas Mansur.

Putra imam dan khatib di Masjid Agung Ampel ini lahir di Surabaya (Jawa Timur) pada 1896. Ayahnya, KH Mas Ahmad Marzuki, bersahabat baik dengan sang pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Tiap berdakwah di Surabaya dan sekitarnya, Kiai Dahlan tak jarang menginap di rumah Kiai Marzuki.

Saat berusia 10 tahun, Mas Mansur belajar di Pesantren Demangan yang diasuh KH Kholil. Dua tahun kemudian, ia berangkat haji. Kesempatan ke Tanah Suci juga dimanfaatkannya untuk terus belajar ilmu-ilmu agama.

Sayangnya, situasi politik di Haramain kemudian menjadi kacau balau. Terjadi perebutan kekuasaan. Imbasnya, banyak pelajar dari luar Arab yang tak lagi bisa menghadiri majelis-majelis ilmu atau sekolah sebagaimana jadwal normal.

Mas Mansur memutuskan untuk pergi ke Kairo, Mesir. Padahal, ketika itu dia belum sempat mengabarkan kepada orang tuanya tentang kepindahan ini.

Toh Mas Mansur saat itu tidak melihat alternatif lain untuk meneruskan pendidikan setelah situasi Haramain kurang kondusif. Hanya ada Kairo di matanya.

Maka selama bermukim di ibu kota Mesir itu, Mas Mansur menjalani hidupnya dengan sederhana. Selama satu tahun pertama dia tidak lagi mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya.

Di Universitas al-Azhar, Mas Mansur belajar antara lain pada Syekh Ahmad Maskawih. Dia termasuk kelompok mahasiswa yang mengalami pertumbuhan ide-ide modernisme dan nasionalisme di Asia Barat.

Mas Mansur memanfaatkan kesempatan belajar dua tahun lamanya di Mesir ini untuk membaca sebanyak-banyaknya literatur. Pada 1915, Mas Mansur kembali ke Tanah Air dari Makkah dengan terlebih dahulu singgah satu tahun lamanya.

Kembali ke Tanah Air, KH Mas Mansur mendapati bahwa orang-orang sedang antusias pada organisasi. Ia pun menemui HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Tak lama, ia pun menjadi bagian dari SI.

Bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Mas Mansur ikut mendirikan Majelis Taswir al-Afkar. Ini untuk menggerakkan dakwah pencerahan kepada masyarakat, khususnya generasi muda, agar mereka terhindar dari kejumudan berpikir.

Belakangan, perbedaan pendapat antara dirinya dan KH Abdul Wahab Hasbullah. Hal itu menyebabkan KH Mas Mansur mengundurkan diri dari Taswir al-Afkar. Dalam masa-masa kemudian, alumnus al-Azhar ini bergiat di dunia jurnalistik.

photo
(ilustrasi) KH Mas Mansur - (tangkapan layar pwmu)
  
  Sejak 1921, KH Mas Mansur bergabung dengan Muhammadiyah. Ia pun memasifkan syiar Persyarikatan di Surabaya dan sekitar.

Selanjutnya, KH Mas Mansur ditarik ke pusat Muhammadiyah. Sebagai hasil dari Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada 1937, ia pun menerima amanah sebagai ketua umum untuk periode 1937-1942.

Amanah itu lebih sebagai sintesis dari pertentangan yang sempat terjadi antara golongan tua dan golongan muda di dalam tubuh Muhammadiyah.

Untuk meredam kekecewaan golongan muda, dalam muktamar ke-26 Muhammadiyah, ketiga sosok sepuh--KH Hisyam, KH Mukhtar, dan KH Syuja’--dengan ikhlas bersedia mengundurkan diri dari bursa pencalonan ketua umum.

Selanjutnya, nama Ki Bagus Hadikusumo diusulkan menjadi ketua umum tetapi yang bersangkutan menolaknya. Demikian pula dengan KH Hadjid. Akhirnya, tawaran diajukan kepada KH Mas Mansur dari Surabaya yang pada mulanya menolak.

Namun, setelah berdialog dengan intens dan melihat situasi dalam organisasi itu sendiri, KH Mas Mansur pun bersedia mengemban amanah itu. Dalam kepemimpinannya, pengurus pusat Muhammadiyah lebih memberi ruang pada kiprah golongan muda yang mumpuni dan berkemajuan.Rol

No comments: