Kisah Imam Hanafi Enggan Berteduh di Rumah Pengutang

Pemilik rumah ini berutang sejumlah uang kepada Imam Hanafi. Red: Hasanul Rizqa ILUSTRASI Imam Hanafi enggan berteduh di suatu tempat ini karena takut terjerumus dosa riba.
Foto: dok pxhere
ILUSTRASI Imam Hanafi enggan berteduh di suatu tempat ini karena takut terjerumus dosa riba.
Nu'man bin Tsabit alias Imam Abu Hanifah merupakan seorang ulama besar dari generasi tabiin. Sosok yang juga dikenal sebagai Imam Hanafi ini merupakan peletak salah satu mazhab fikih ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja).

Ada sejumlah kisah yang menunjukkan budi pekerti dan akhlak Imam Hanafi. Di antaranya adalah cerita ketika alim tersebut enggan mengambil manfaat dari orang yang punya utang kepada dirinya.

Keengganan ini tidak disebabkan sifat orang tersebut dalam pandangan Imam Hanafi. Begitu pula, tidak berarti bahwa ulama ini tidak menyukai person tersebut.

Keengganan ini justru menunjukkan betapa hati-hati (warak) Imam Hanafi dalam urusan muamalah. Ia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam riba.

Shaqiq al-Balkhi menuturkan bahwa pada suatu siang yang terik, Imam Abu Hanifah merasa kepanasan. Seorang kawan yang membersamainya lantas mengajaknya untuk berteduh.

Kebetulan, di dekat mereka ada sebuah rumah dengan dinding yang cukup tinggi. Tempat itu tampak sangat teduh.

"Mari kita duduk sejenak di bawah naungan dinding ini," kata kawannya.

"Tidak. Sungguh, lebih baik kita meneruskan jalan," kata Imam Hanafi.

Saat ditanya alasannya, ulama ini menjelaskan, "Sesungguhnya, pemilik rumah itu sedang berutang kepadaku. Dan ketahuilah bahwa setiap pinjaman yang membawa manfaat (kepada kreditur) adalah riba. Kalau aku duduk (berteduh) di bawah naungan dinding rumahnya, berarti aku telah mendapat manfaat dari dirinya."

Betapa teliti Imam Hanafi dalam menjaga kehati-hatian atas segala perbuatan yang dilakukannya. Ia warak agar tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah SWT.

Imam Hanafi memperhatikan hal sekecil apa pun, yang berpotensi membuatnya terjerumus ke dalam dosa. Apalagi, riba jelas merupakan sebuah dosa besar menurut ajaran Islam.

Kisah itu juga menunjukkan, Imam Abu Hanifah berusaha tidak mengambil manfaat dari orang yang memiliki utang kepadanya, apa pun bentuk manfaat itu.

Kaya raya
Mengutip Sirot Fajar dalam buku Hidup Bahagia Tanpa Keluh Kesah, Imam Hanafi tidak hanya alim ilmu-ilmu agama, tetapi juga seorang pedagang yang sukses. Bahkan, sebagai pebisnis dirinya terbilang kaya raya.

Fokus bisnisnya ialah menjual kebutuhan sandang, termasuk kain-kain impor yang berbahan sutra dan bulu. Sebelum menerima nasihat dari Imam Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi, Abu Hanifah sering bepergian dari satu negeri ke negeri lain untuk berniaga. Sesudah asy-Sya’bi menyarankannya agar lebih berfokus pada menuntut ilmu-ilmu agama Islam, barulah ia mengurangi intensitas perjalanan bisnis.

Sebagai orang yang alim dan berada, Imam Hanafi sangat antusias dalam beramal. Bila ia mengeluarkan nafkah kepada diri dan keluarganya, saat itu pula sedekahnya dikeluarkan dengan jumlah yang sama kepada orang-orang lain yang membutuhkan. Sebagai contoh, ketika sang imam memakai baju baru, maka ia langsung membelikan orang-orang miskin sejumlah baju baru dengan nilai dan harga yang sama—atau bahkan lebih—dengan pakaiannya itu. Begitu pula saat ia mendapatkan berbagai rezeki, semisal makanan, minuman, dan lain-lain.

Tiap akhir tahun, Imam Hanafi selalu melakukan tutup buku. Saat itu, dirinya akan menghitung seluruh laba perniagaannya. Dari keuntungan yang ada, ia mengambil sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan pribadi.

No comments: