Panglima Perang Persia Masuk Islam Usai Menghadap Khalifah Umar
Hanya perlu 23 tahun sejak tewasnya Khosrow II untuk menyaksikan hancur leburnya Kekaisaran Persia.
Dalam tempo dua dekade itu, kerajaan yang menganut agama Majusi tersebut mengalami belasan kali pergantian kepemimpinan.
Empat dinasti yang berbeda saling berebut takhta sehingga semakin mem perlemah sendi-sendi pertahanan negeri itu.
Dalam keadaan rapuh demikian, Persia sesungguhnya sangat rentan dihabisi Bizantium.
Akan tetapi, bukan kerajaan Nasrani itu yang menyudahi riwayat Persia. Justru Islam-lah yang mampu merebut kedaulatan negeri di Dataran Tinggi Iran itu pada abad ketujuh.
Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632, kaum Muslimin dipimpin Abu Bakar ash-Shiddiq.
Selama masa pemerintahannya, sang khalifah berhasil mengukuhkan persatuan umat Islam di seluruh Jazirah Arab.
Sahabat yang juga mertua Rasulullah SAW itu memulai ekspedisi militer untuk melawan kekuatan Persia di sekitar Sungai Eufrat dan Tigris pada 633.
Satu tahun kemudian, ayahanda sang ummul mu`minin Aisyah itu berpulang ke rahmatullah.
Kepemimpinannya dilanjutkan Umar bin Khattab. Sosok bergelar al-Faruq itu pun meneruskan kebijakan Abu Bakar untuk menghalau Persia.
Bagaimanapun, strategi yang diterapkannya cenderung defensif, yakni semata-mata mempertahankan wilayah Mesopotamia atau Irak.
Waktu itu, pasukan Islam yang dipimpin Sa'ad bin Abi Waqqash bertugas mengamankan Irak.
Panglima Persia, Hormuzan, sudah menyingkir bersama pasukannya ke timur. Umar ingin agar Sa'd tidak perlu mengejar balatentara Persia.
Akan tetapi, kebijakan sang amirul mu`minin dimaknai berbeda oleh Hormuzan, yang menyangka bahwa Muslimin takut kepadanya.
Ia lalu memprovokasi letupan-letupan konflik di perbatasan Irak sehingga mengganggu ketenteraman penduduk setempat.
Gelombang pertempuran pun tak terhindarkan. Pasukan Islam berhasil mematahkan kekuatan tentara Hormuzan.
Akhirnya, Persia terpaksa memohon perjanjian damai dengan Muslimin. Sa'd membolehkan para prajurit yang sebelumnya ditawan untuk dibebaskan dengan sejumlah tebusan.
Namun, Hormuzan dan sejumlah pendampingnya tetap ditahan, untuk kemudian di bawa ke Madinah.
Sesampainya di Kota Nabi, Hormuzan ternyata diperlakukan secara terhormat. Bahkan, kepadanya disediakan pakaian dari sutra bertatahkan emas dan mahkota sebelum menghadap amirul mu`minin.
Sebab, memang demikianlah gaya busana para pembesar Persia umumnya, dan Muslimin pun membiarkannya mengikuti tradisi itu. Adapun Khalifah Umar berpakaian tak ubahnya rakyat biasa.
Hormuzan gemetar ketakutan tatkala melihat Umar. Akan tetapi, sang khalifah kemudian membebaskannya. Bekas panglima Persia itu lantas menyatakan diri memeluk Islam.
Sejak itu, ia tinggal di Madinah hingga akhir hayatnya. Kelak, Hormuzan menjadi korban pembunuhan yang dilakukan Ubaidillah.
Putra Umar bin Khattab itu gelap mata sehingga menghabisi beberapa pendatang Madinah, termasuk Hormuzan, yang ditudingnya berkomplot untuk membunuh ayahnya.Rol
No comments:
Post a Comment