Peristiwa Penyebab Berakhirnya Kekuasaan Ulama Plus Raja di Jawa
Para ulama bertindak tidak saja sebagai penterjemah nilai-nilai Islam dalam masyarakat, tapi sekaligus tampil sebagai elit kebesaran kerajaan. Di hampir semua kerajaan di Melayu-Nusantara, ulama senantiasa hadir sebagai kelompok elit yang memiliki tugas-tugas pokok di bidang keagamaan (Milner 1983). Lebih dari itu, di bawah lindungan pihak kerajaan, para ulama menulis sebagian buku-buku keagamaan yang disebut kitab kuning. Ulama juga melakukan sejumlah kegiatan lain yang sesuai dengan posisi formal yang diemban di lingkungan kerajaan.
Namun demikian, sistem politik dan budaya yang berpusat pada raja pada saat yang sama menjadikan keberadaan ulama sangat rentan terhadap berbagai perubahan sosial-politik di kerajaan. Kasus pelarangan bahkan pengharaman karya-karya dan pemikiran sufisme wahdat al-wujud Hamzah Fanshuri di kerajaan Aceh merupakan satu bukti penting dari hal demikian.
Pembaharuan Islam neo-Sufisme, jika kita memang setuju istilah Azra (1992) yang dibawa Nuruddin al-Raniri yang belajar antara lain pada Ibrahim al-Kurani di Makkah memang telah memberi satu pemikiran baru yang menggantikan pemikiran sufisme wahdat al-wujud yang dinilai menyimpang dari ajaran asli Islam (shari‘ah). Hanya saja, bila mempertimbangkan konteks sosial-politik kerajaan Aceh abad ke-17, pembaharuan al-Raniri tampaknya sulit bisa diterima tanpa kehendak politik raja.
Maka dari sudut pandang ini pula, pemikiran politik keagamaan para ulama Melayu-Nusantara, setidaknya hingga abad ini, berada pada jalur yang mendukung pihak kerajaan. Istilah "raja sufi" untuk menyebut kesitimewaan raja, merupakan satu arus utama dalam pemikiran keagamaan Islam di Melayu-Nusantara. Demikian dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 2.
Berakhirnya Era Ulama Plus Raja
Pengalaman politik ulama di Jawa bahkan menghadirkan bukti lebih kuat dari rentannya hubungan ulama-raja. Ketika Amangkurat I naik tahta (tahun 1646-1677) di kerajaan Mataram, menggantikan Sultan Agung (1613-1646), para ulama yang berbasis di pantai utara Jawa harus menghadapi sikap politik yang menentang keberadaan mereka sebagai ulama plus raja di wilayah mereka masing-masing (de Graaf dan Pigeaud 1989).
Sikap politik ini dilakukan sejalan dengan hasratnya menjadikan seluruh wilayah Jawa langsung berada di bawah kontrol kekuasaan Mataram. Pada tahun 1652, Amangkutrat I melarang secara resmi setiap bentuk transaksi perdagangan dan memerintahkan penutupan secara permanen seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa.
Bahkan, Amangkurat I dianggap bertanggungjawab terhadap pembunuhan para ulama pesisir Jawa yang berjumlah sekitar lima sampai enam ribu, termasuk keluarga dan anak-anak mereka (Ricklefs 1981).
Perkembangan ini tentu saja mengakhiri kekuasaan politik ulama di pantai utara Jawa, dan sekaligus melahirkan hubungan yang tidak harmonis antara ulama dengan pihak kerajaan.
Lahirnya Istilah Ulama Priayi dan Ulama Pesantren
Hal terakhir ini bahkan semakin kuat ketika pihak kerajaan kemudian mengangkat sebagian ulama pada posisi formal sebagai penghulu kerajaan. Sehingga melahirkan dua corak ulama dengan orientasi sosial-keagamaan yang berbeda. Pertama ulama–penghulu yang berada di lingkungan kraton dan menjadi bagian dari elit priyayi Jawa (Hisyam 2001). Kedua, ulama- pesantren yang berbasis di pesantren-pesantren yang tersebar di wilayah pedalaman Jawa (Dhofier 1982).
Sejak saat itu pula ulama relatif berjarak dengan perkembangan politik di kerajaan. Mereka lebih terkonsentrasi pada proses pembentukan umat yang berbasis di pesantren-pesantren dan juga tarekat-tarekat, khususnya di Jawa. Penting ditekankan bahwa meski memang tidak khas Jawa, di mana lembaga pendidikan Islam dengan yang serupa juga terdapat di luar Jawa, dayah di Aceh dan surau di Minangkabau (Azra 1988), proses historis yang berbeda dalam pembentukan pesantren tampaknya telah membuat ulama Jawa mengalami proses pelembagaan yang jauh lebih kuat. Dalam konteks inilah fenomena pesantren kerap dilihat lebih sebagai fenomena khas Jawa.
Berakhirnya kekuasaan ulama plus raja di pantai utara Jawa kerap kali dilihat sebagai akhir dari keberadaan Islam pesisir yang kosmopolit, dan sekaligus awal dari proses pembentukan Islam tradisional di pedalaman yang berbasis pesantren. Hary J Benda (1980), misalnya berpendapat bahwa perubahan politik di atas bukan hanya telah mengakhiri pemukiman Muslim yang bersifat urban, dinamis dan agresif, tapi sekaligus menandai kejayaan Islam sinkretis yang tidak murni, di mana Islam bekerja dalam kerangka sistem budaya tradisional.
Hal serupa dalam beberapa segi juga bisa dilihat pada karya Geertz tersebut di atas. Dia berpendapat bahwa pesantren memang telah berfungsi sebagai saluran penetrasi Islam ke wilayah pedalaman Jawa yang lebih luas. Namun, pada saat yang sama, Geertz juga mencatat satu proses pergeseran orientasi keagamaan di mana budaya Islam pesisir yang berorientasi internasional, lebih ortodoks, kosmopolit dan dinamis, telah berubah menjadi hanya sekadar lembaga pendidikan Alquran (Geertz 1959).Rol
No comments:
Post a Comment