Samudra Pasai dalam Catatan Ibnu Batutah

Ibnu Batutah terkesan dengan raja Samudra Pasai, fasih bahasa Arab dan dekat ulama. Red: Hasanul Rizqa ILUSTRASI Masjid Baiturrahman di Banda Aceh. Aceh menjadi pusat kerajaan Islam Samudra Pasai.
Foto:
 Buya Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, menuturkan histori Samudra Pasai. Konon, inilah kerajaan Islam pertama di seluruh Indonesia.

Pemimpinnya bernama Merah Silu. Sejak memeluk Islam, tokoh ini berganti nama menjadi dengan Sultan al-Malikush Shaleh.

Penggantian nama itu dilakukan atas saran Syekh Ismail, yakni sosok dari Makkah yang mendakwahkan Islam kepada Merah Silu.

Merah Silu alias Sultan al-Malikush Shaleh menguasai pesisir utara Aceh atau daerah sepanjang Sigli hingga Lhokseumawe kini. Dia menjadikan daerah antara Sungai Jambu Air dan Sungai Pasai (Krueng Pase) sebagai pusat pemerintahan pada 1267 M.

Para arkeolog dari abad modern telah meneliti penemuan kompleks makam raja-raja Samudra Pasai di daerah tersebut. Sejumlah batu nisan di sana berbahan pualam putih yang dihiasi dengan ukiran-ukiran beraksara Arab.

Makam yang tertua, yakni bertuliskan nama Sultan al-Malikush Shaleh, diketahui berasal dari tahun 692 Hijriah atau 1297 Masehi.

Sultan al-Malikush Shaleh menikah dengan putri Raja Perlak. Pada masa ini, Kerajaan Perlak mulai menjadi bagian dari Samudra Pasai.

Putranya kelak menggantikannya sebagai raja Samudra Pasai dengan gelar al-Malikuzh Zhahir I. Menurut Buya Hamka, julukan ini juga berkaitan dengan pengaruh Makkah dan Mesir.

Sebab, azh-Zhahir merupakan gelar sultan Dinasti Mamluk Mesir, yang mengendalikan pemerintaha Haramain kala itu.

Untuk selanjutnya, al-Malikuzh Zhahir II naik takhta. Menurut Buya Hamka, dialah raja Samudra Pasai yang ditemui pengelana masyhur dari Maroko, Ibnu Batutah.

  Saat menyambangi Samudra Pasai, Ibnu Batutah menyaksikan bahwa raja Pasai mengikuti mazhab fikih Syafii. Ia juga merekam situasi sosial dan perkembangan ekonomi negeri Islam di ujung Pulau Sumatra ini.

Ibnu Batutah menuturkan, setiap masuk waktu shalat Jumat, sultan Pasai keluar dari kediamannya dengan berjalan kaki.

Kemudian, sultan akan menaiki gajah atau kuda khusus dengan diiringi para pembantunya. Sepanjang jalan menuju masjid kerajaan, iring-iringan sultan ini dihormati rakyat seluruhnya.

Ibnu Batutah terkesan dengan Al-Malikuzh Zhahir II yang dekat dengan kaum ulama dan fasih berbahasa Arab. Sebagian di an tara para cendekiawan di istana merupakan kalangan sayyid atau keturunan Rasulullah SAW yang berasal dari Shiraz (Iran).

Pengelana yang telah menyambangi China dan India ini sempat bertukar pikiran dengan sultan tersebut. Dia pun meyakini bahwa Al-Malikuzh Zhahir II tidak sekadar cakap memimpin, melainkan juga menguasai ilmu-ilmu agama dan pengetahuan seputar Mazhab Syafii.

Ibnu Batutah menuliskan kesannya bahwa al-Malikuzh Zhahir II begitu melindungi semua pedagang yang datang ke negerinya. Dia sendiri juga mendapatkan hadiah yang tidak sedikit dari sang sultan, terutama ketika hendak pamit untuk pulang ke Maroko.

Perdagangan internasional merupakan sendi perekonomian Samudra Pasai. Negeri ini juga menjadi bandar berbagai komoditas yang bernilai tinggi di pasar dunia, semisal la da dan kopi. Sultan-sultan Pasai juga menge luarkan mata uang sendiri yang disebut se bagai deureuham sebagai bukti kedaulatan ekonomi.

Nilai intrinsiknya adalah 70 persen emas murni dengan bobot 0,6 gram. Selain dunia perniagaan, orang-orang Pasai terutama di daerah pedalaman konsen pada pertanian dan peternakan.Rol

No comments: