S.U. Bajasut: Peranan Umat Islam di Awal Revolusi Indonesia

 

S.U. Bajasut seorang dokumentator Partai Masjumi, menyaksikan secara langsung bagaimana umat Islam bahu-membahu dalam revolusi kemerdekaan
SETELAH Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia tidak langsung menikmati kebebasan penuh. Berbagai ancaman dari pihak kolonial dan sekutu datang silih berganti.

Insiden bendera di Hotel Oranye, Surabaya, pada 19 September 1945, serta kedatangan tentara Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Christison pada 29 September 1945 di Jakarta, menunjukkan bahwa kemerdekaan yang telah diproklamirkan masih jauh dari aman.

Belanda bahkan secara terang-terangan menyatakan tidak berniat melakukan perundingan dengan pemerintahan Presiden Sukarno.

Di tengah situasi yang genting ini, umat Islam Indonesia tampil dengan peran signifikan dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara. S.U. Bajasut (1913-1982), seorang tokoh yang turut aktif dalam perjuangan tersebut, mendokumentasikan momen-momen krusial tersebut dalam tulisannya di Panji Masyarakat edisi No. 323, XXII/1981.

Beliau, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur dan dokumentator Masjumi, menyaksikan secara langsung bagaimana umat Islam bahu-membahu dalam revolusi kemerdekaan.

Ancaman Kolonial dan Persatuan Politik

Sebelum sistem pemerintahan negara bisa dibangun hingga ke pelosok-pelosok, Indonesia sudah harus berhadapan dengan ancaman nyata dari pasukan Belanda dan sekutu. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia segera mengambil langkah penting.

Pada 3 November 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah, yang intinya mendorong pembentukan partai-partai politik.

Melalui partai-partai ini, diharapkan segala macam aliran pemikiran dalam masyarakat dapat diarahkan untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Maklumat tersebut berbunyi: “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.” (Panji Masyarakat, 1981).

Salah satu partai yang lahir dari kondisi ini adalah Partai Masyumi, yang kelak menjadi representasi politik umat Islam dalam memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia dan menegakkan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Muktamar Umat Islam di Yogyakarta

Pada tanggal 7 November 1945, hanya beberapa bulan setelah Proklamasi, sebuah peristiwa penting terjadi bagi umat Islam Indonesia, yaitu diselenggarakannya Muktamar Umat Islam di Yogyakarta.

Dalam muktamar ini, umat Islam menunjukkan kesadaran kolektif untuk bersatu dalam menghadapi ancaman yang datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Muktamar tersebut menghasilkan keputusan monumental, yakni mendirikan Partai Politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik bagi umat Islam Indonesia.

Tujuan dari pendirian Masyumi sangat jelas: “Menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam, serta melaksanakan cita-cita Islam dalam kenegaraan” (Panji Masyarakat, 1981).

KH. Taufiqurrahman, salah satu tokoh yang ikut serta dalam muktamar tersebut, mengungkapkan bahwa umat Islam sepenuhnya sadar akan pentingnya persatuan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Dalam situasi yang penuh tekanan, tokoh-tokoh dan alim ulama dari berbagai penjuru Jawa dan Madura berkumpul di Yogyakarta untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan dan menegakkan syariat Islam.

“Tindakan dari pihak imperialis Belanda dan komplotannya membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia,” demikian ungkap K.H. Taufiqurrahman, mengingat suasana perdebatan dalam muktamar tersebut (Panji Masyarakat, 1981).

Jihad Fi Sabilillah dan Persatuan Umat

Muktamar tersebut menegaskan bahwa umat Islam wajib berjuang dengan segenap jiwa dan raga demi kemerdekaan negara dan agama. Oleh karena itu, dibentuklah Barisan Fi Sabilillah, sebuah barisan khusus yang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk mempertahankan negara dari ancaman musuh.

Muktamar juga memutuskan bahwa seluruh pemuda Islam harus bergabung dalam barisan Hizbullah, yang kemudian menjadi gerakan pemuda militer umat Islam.

Dalam perkembangan lebih lanjut, Masyumi berhasil memperkuat strukturnya dengan membentuk organisasi-organisasi afiliasi seperti Sarekat Buruh Islam Indonesia, Sarekat Tani Islam Indonesia, Sarekat Nelayan Islam Indonesia, dan Sarekat Dagang Islam Indonesia.

Peran ini semakin menunjukkan bahwa umat Islam bukan hanya berjuang di medan tempur, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial, demi memperkuat pertahanan bangsa.

Pesan untuk Dunia Internasional

Keputusan muktamar tidak hanya menyasar perjuangan di dalam negeri. Muktamar juga mengeluarkan beberapa resolusi yang dikirimkan kepada komunitas internasional, terutama kepada umat Islam di seluruh dunia.

Salah satu risalah ditujukan kepada Jama’ah Haji yang saat itu sedang berada di Padang Arafah, memohon doa untuk kemenangan umat Muslimin Indonesia dalam menghadapi penjajah.

Risalah lainnya ditujukan kepada Partai Kongres India, meminta agar mereka mencegah pengiriman tentara India ke Indonesia, yang dapat memperburuk situasi perang antara dua bangsa yang sama-sama dijajah.

S.U. Bajasut, dalam tulisannya, juga mencatat bahwa Muktamar mengirimkan pesan kepada Dr. Mohamad Ali Jinnah, pemimpin Muslim Leaque India, dan Abdurrahman Azzam Bey, Sekretaris PAN Arabia di London, untuk menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi dan mendukung perjuangan Indonesia.

Pesan ini menegaskan posisi umat Islam Indonesia yang tidak hanya berjuang demi kemerdekaan tanah air, tetapi juga menolak segala bentuk kolonialisme di dunia.

Peranan umat Islam di awal revolusi kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Umat Islam tidak hanya berjuang mempertahankan kemerdekaan secara fisik, tetapi juga memainkan peran penting dalam pembentukan struktur politik dan sosial yang mendukung keberlangsungan negara.

Keputusan-keputusan yang diambil dalam Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada 1945 menunjukkan kesatuan umat dalam menghadapi penjajahan, sekaligus menunjukkan komitmen mereka terhadap syariat Islam dalam bingkai negara Republik Indonesia.

S.U. Bajasut dalam tulisannya di Panji Masyarakat menegaskan bahwa umat Islam Indonesia bukanlah pengikut pasif dalam sejarah kemerdekaan, tetapi aktor utama yang dengan penuh semangat turut serta dalam membela tanah air dan agamanya.

Perjuangan mereka, baik melalui Partai Masyumi, Barisan Fi Sabilillah, maupun Hizbullah, menjadi bukti konkret kontribusi umat Islam dalam menjaga kedaulatan negara yang baru lahir ini.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: