Tolak Jabatan dari Penguasa Zalim, Ulama Ini Lebih Memilih Penjara
Imam Abu Hanifah atau yang juga disebut Imam Hanafi merupakan satu-satunya pendiri mazhab fikih ahlus sunnah waljama'ah (aswaja) yang berasal dari luar Arab, tepatnya Persia (Iran).
Sosok yang bernama asli Nu'man bin Tsabit itu membuat ijtihad dan menuliskan hukum Islam selama lebih dari 30 tahun. Hal itu dilakukannya agar umat Islam, baik pada masanya maupun generasi-generasi sesudahnya, kian mudah dalam melaksanakan syariat.
Sebagai seorang mujtahid, dirinya berpandangan bahwa upaya mengeluarkan makna hukum (istinbath) mesti didasarkan pada tujuh hal pokok, yakni Alquran, Sunnah Nabi SAW, fatwa para sahabat, kias (qiyas), istihsan, ijma, dan 'urf (kebiasaan masyarakat yang tak bertentangan syariat). Di antara karya-karya monumentalnya ialah Al-Fiqh al-Akbar, Al-Fiqh al-Absath, Al-'Alim wa al-Muta'allim, dan Musnad.
Menurut catatan al-Khawarizmi, tokoh yang populer dengan sapaan Imam Hanafi itu telah mengeluarkan sekitar 83 ribu fatwa. Sebanyak 38 ribu di antaranya berkaitan dengan hukumhukum syariat, sedangkan sisanya tentang hukum perdagangan. Itu belum termasuk rumusan fikih mengenai ibadah dan muamalah di luar kasus-kasus perniagaan.
Selain berilmu, Imam Hanafi terbilang berdagang. Bakatnya sebagai pebisnis sudah ditempa sejak berusia remaja. Waktu itu, ia biasa membantu orang tuanya untuk menjual komoditas sandang.
Sejak menekuni dunia dakwah dan pendidikan, nyaris seluruh waktunya tercurah untuk membimbing umat. Penghasilan yang dimilikinya banyak disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dirinya hanya mengambil seperlunya dari omzet tahunan.
Besarnya reputasi Imam Hanafi membuat banyak penguasa tertarik. Bukan untuk menyerap dan mendukung persebaran ilmunya, tetapi ambisi menjadikannya sebagai alat legitimasi kekuasaan. Mereka mencari-cari cara agar kebijakan yang diambilnya bisa mendapatkan dukungan dari ulama.
Pernah Imam Hanafi ditawari jabatan oleh gubernur Irak saat itu, Yazid bin 'Amr, sebagai kepala departemen keuangan negara (baitul maal). Namun, tawaran itu ditolaknya dengan tegas. Akibatnya, ia dipanggil ke ibu kota untuk dihukum cambuk.
Pihak penguasa tidak menyerah dan menawarinya jabatan lagi. Kali ini, posisi yang ditawarkan khalifah Abbasiyah, Abu Jafar al-Manshur, ialah mufti kerajaan.” Demi Allah, aku tidak akan mengambil jabatan yang diberikan kepadaku sekalipun mereka akan membunuhku,” ujar sang mujtahid. Imam Hanafi pun kembali dipenjara.
Namun, para menteri Abu Jafar al-Manshur mengusulkan bahwa Abu Hanifah cukup diberi status tahanan rumah. Alim ini lalu diberi status demikian dan tetap dilarang duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.
Dalam status tahanan itu, kesehatan Imam Hanafi terus mengalami penurunan drastis. Akhirnya, ia meninggal dunia pada Rajab 150H/767M dalam usia 68 tahun.
Ada berbagai keterangan perihal akhir hayatnya. Beberapa sumber menyebutkan, sebelum wafat Imam Hanafi sempat memakan sajian yang telah diracuni orang tanpa sepengetahuan dirinya. Dalam riwayat lain disebutkan, dia lebih dahulu dipukul sehingga meninggal dunia.
Yang jelas, kepergiannya ke hadirat Illahi menyisakan duka cita yang teramat dalam di tengah kaum Muslimin. Sejarah mencatat, shalat jenazah untuknya sampai-sampai dilangsungkan sebanyak enam kali. Tiap kali sesi sholat itu didirikan oleh hampir 50 ribu orang jamaah.
No comments:
Post a Comment