Benarkah Al-Ghazali Bertanggung Jawab Atas Kemunduran Sains Islam Abad Pertengahan?

al-ghazali
Bagikan:

Mengapa kita perlu membahas peran al-Ghazali terhadap kemajuan sains di tengah tuduhan sebagian kaum muslimin bahwa beliaulah yang menyebabkan kemundurannya? Umat Islam sekarang bahkan amnesia bahwa dulu kita pernah berjaya dalam sains hampir 1000 tahun lamanya

Dr. Budi Handrianto

MENGAPA kita perlu membahas peran al-Ghazali terhadap kemajuan sains di tengah tuduhan sebagian kaum muslimin bahwa beliaulah yang menyebabkan kemundurannya? Paling tidak ada tiga hal mengapa penulis memasukkan topik ini yang dirasa penting untuk ditampilkan kembali dalam rangka pengembangan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan atau sains.

Pertama, penulis ingin meluruskan sejarah yang dirasa sangat tendensius menyerang sosok pribadi seseorang tokoh muslim yang sangat dihormati keulamaan dan kepakarannya. Sejarah ditulis dan dikembang-ajarkan biasanya oleh pihak yang menang dalam kekuasaan atau hegemoni pemikiran yang berkembang.

Kemudian, dengan kemampuan dan segala resources yang dimiliki, beberapa pakar di bidang sejarah menulis sejarah yang sesuai atau menguntungkan pihak yang didukung, baik secara ideologis maupun praktis. Sebagai contoh, kita mendapatkan dari pelajaran sejarah tingkat dasar bahwa Pangeran Diponegoro memulai perang dengan Belanda karena Belanda “kurang ajar” memasang patok-patok di makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Padahal setelah kita dalami dan kita gunakan analisis worldview, sebab-sebab Perang Jawa karena Pangeran Diponegoro melihat kezaliman yang dilakukan penguasa kafir dan ingin mengusirnya dengan perang jihad (sabil).

Kedua, penulis ingin “membersihkan” image yang selama ini disematkan kepada al-Ghazali, yang dijadikan kambing hitam kemunduran sains di dunia Islam waktu itu. Sebagaimana kita ingin “membersihkan” image Pangeran Diponegoro yang dianggap terlalu “selfish” gara-gara makam leluhur dipasang patok lalu mengajak perang, demikian pula dengan Imam al-Ghazali yang dituduh penyebab kemunduran sains di dunia Islam.

Sebagai seorang ulama yang diakui kepakarannya dan diikuti keteladanannya oleh sebagian besar masyarakat muslim di dunia ini selama hampir 1000 tahun, serangan negative image tersebut cukup mengganggu bagi proses pembelajaran ke depan.

Ketiga, penulis berkepentingan untuk mengembangkan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan dan sains yang menjadikan –salah satunya, sejarah sains sebagai landasan kebangkitan sains Islam. Jika landasan yang dipakai keliru, maka proses Islamisasi sains pun akan terhambat atau bergeser dari rancangan semula.

Pada intinya, pembahasan ini –terutama dalam pelurusan sejarah, untuk keperluan landasan bagi pengembangan proses Islamisasi sains modern yang sekarang ini tengah dikembangkan.

Awal tuduhan kepada al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran sains di dunia Islam muncul setelah ada para orientalis. Salah satunya adalah Ignas Goldziher yang menyatakan bahwa kemunduran sains di dunia Islam adalah karena suatu “conservative religious forces”. (Muzaffar Iqbal dalam Science and Islam, Greenwood Press, 2007).

Tuduhan kepada al-Ghazali juga dapat kita lihat dalam tulisan Giorgio De Santillana ketika memberikan pengantar pada buku Sains dan Peradaban di dalam Islam karangan Seyyed Hossein Nasr. Katanya, “Al-Ghazali dengan kebijakan masyhur tidak mencolok secara intelektual seperti adanya, dan bagi kita secara etik tidak mengilhami, mulai membangun pusaran intoleransi dan fanatisme buta yag meruntuhkan bukan saja sains tapi sistem madzab itu sendiri dan sesuatu yang agung, yaitu ijtihad.” Kemudian diikuti ilmuwan Barat modern seperti Steven Weiberg, Richard Dawkins, dan juga beberapa ilmuwan muslim.

Seorang jurnalis Suriah yang menjadi kontributor The National di Abu Dhabi, The Guardian, Foreign Policy dan New York Times bernama Hassan Hassan menulis tentang The Decline of Islamic Scientific Thought – Don’t Blame It on Al-Ghazali. Di awal tulisan dia menyebutkan bahwa melalui Kitab Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of Philosophers, Kerancuan Para Filosof) merupakan penyebab terbunuhnya ilmu filsafat di dunia Islam (“Stabbed falsafa in such a manner that it could not rise again in the Muslim world”). Dikatakan pula bahwa berkat pengetahuannya yang nyaris tak tertandingi dalam ilmu falsafah dan teologi, al-Ghazali menyuntikkan sikap antipati terhadap sains di kalangan umat Islam yang akhirnya berujung pada kemunduran dan dalam proses tersebut kehancuran peradaban Islam, setidaknya menurut para akademisi dan orientalis.

Namun kemudian Hassan menyatakan bahwa kemunduran itu bukan semata-mata salah al-Ghazali, tapi karena pengaruh penguasa Nizhamiah dalam menancapkan kekuasaannya, untuk membatasi pengaruh aliran non-sunni, mengadopsi Madzab Syafii dan meninggalkan sekolah Falsafah serta beralih ke madrasah. Tentu pendapat ini, baik menuduh al-Ghazali maupun penguasa Nizhamiah sebagai penyebab pemunduran sains di dunia Islam kala itu, adalah keliru.

Kekeliruan Atas Dasar Tuduhan: Jawaban Saliba

Menurut George Saliba, guru besar sejarah Sains Islam di Columbia University, New York, dalam Islamic Science and the Making of the European Renaissaince, kebanyakan orientalis mendasarkan tuduhannya pada asumsi terjadinya konflik antara agama dan sains. Paradigma ini mungkin berdasar pengalaman mereka di Eropa pada waktu revolusi ilmiah. Bagi mereka, Imam Al-Ghazali merepresentasikan golongan tradisi ortodoks dalam Islam dan dengan kitab Tahafut yang ditulis pada abad ke-11 Masehi mereka berasumsi bahwa pemikiran ortodoks kaum agamawan memenangkan pertempuran dengan aliran rasional atau pemikiran ilmiah.

Dengan asumsi seperti ini mereka beranggapan bahwa kemunduran sains dalam Islam dan dunia Islam tidak lagi memproduksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Masih menurut Saliba, asumsi para orientalis tersebut keliru. Pertama, paradigma bahwa di Eropa terjadi konflik antara agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa diterapkan dalam masyarakat Islam. Agama Islam sangat mendukung rasionalitas dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tidak ada kontradiksi antara keyakinan dan hukum alam dalam Islam. Jadi, belajar agama dan belajar sains tidak akan menimbulkan konflik dalam diri seorang muslim.

Kedua, ada banyak ilmuwan di dunia Islam yang juga mempunyai otoritas keagamaan (ulama) dalam waktu yang bersamaan. Ulama sekaligus saintis.

Untuk sekedar menyebutkan contoh, ada Ibn Nafis, Nasiruddin at-Thusi, Quthubuddin al-Syirazi dan Ibn Syatir. Mereka hidup pada abad ke-13 dan ke-14 masehi dan mempunya kontribusi yang signifikan dalam berbagai disiplin ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, fisika dan filsafat. Mereka dikenal sebagai ulama, namun mempunyai interest yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Ilmuwan muslim di awal Islam bahkan tidak segan-segan untuk mengambil ilmu pengetahuan dari manapun mereka dapatkan, seperti dari peradaban India, peradaban Yunani, atau peradaban Persia. Mereka tidak saja mengambil ilmu dengan cara menerjemahkan buku-buku tapi juga mengkritisi secara komprehensif.

Mereka membuat koreksi dan pengembangan hingga memperkenalkan ilmu baru hasil “racikan” dari ilmu pengetahuan peradaban yang diambil. Mereka telah memperlihatkan ketinggian dan kedewasaan dalam ilmu pengetahuan. Periode kreatif dan perkembangan yang cepat dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam ini dimulai pada abad ke-8.

Saliba menyebut tuduhan kaum orientalis bahwa al-Ghazali bertanggung jawab terhadap kemunduran sains di dunia Islam sebagai “classical narrative”. Hal ini kontradiksi dengan fakta bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang dan tidak pernah berhenti dari awal perkembangannya di abad ke-8 bahkan setelah al-Ghazali wafat.

Ilmu pengetahuan terus berkembang hingga mempengaruhi munculnya revolusi ilmiah di Barat di mana ditemukan ada hubungan kuat antara Copernicus di abad ke-16 dengan Astronom Muslim di abad ke-13 dan 14. Saliba menyadari penemuannya itu akan membuat shock para komunitas ilmuwan yang tidak menghendaki adanya transfer ilmu pengetahuan dari peradaban Islam ke Barat setelah periode al-Ghazali.

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: